Eva Chan Vhee
Jumat, 12 November 2010
Green Canyon alias Cukang Taneuh di Ciamis
Nama Green Canyon dipopulerkan oleh seorang Perancis pada thn 1993. Nama aslinya Cukang Taneuh. Green Canyon memiliki keunikan tersendiri. Dari perjalanannya sendiri dgn ketinting dari dermaga selama 30 menit kita akan senang melewati sungai dgn air berwarna hijau tosca (kalau lagi nggak hujan). Dalam perjalanan kita melihat kehidupan di bantaran sungai. Sesekali terlihat biawak, ular (jangan kawatir hanya ular kadut) dan penduduk yg sedang mancing atau menjala ikan.
Mendekati Cukang Taneuh, kita disuguhi pemandangan sungai dgn sedikit jeram dgn alur sempit dimana perahu sudah tidak bisa meneruskan perjalanan krn cadiknya yg lebar. Kapasitas parkirnya juga terbatas. Jadi kita ditunggu dlm waktu yg tidak terlalu lama, atau perahu keluar dan kembali lagi dlm waktu yg kita tentukan.
Disini air sangat jernih kebirua-biruan. Utk melihat keunikan yg sesungguhnya; kita disarankan utk terus keatas dgn berenang (ada tersedia penyewaaan ban) atau merayap di tepi batu. Perjalanan ini sepenuhnya aman. Anak-anak 6 thn keatas; dpt ikut menggunakan ban dan panduan - life guard pemilik perahu yg kita sewa. Sepanjang perjalanan,kita akan terus berada di cekungan dgn dinding terjal di kanan kiri; sebgn dinding menyerupai gua dgn atap yg sudah runtuh.
Di bagian tertentu masih tersisa stalaktit2 dimana air tanah menetes. Setelah beberapa ratus meter berenang; kita akan melihat bbrp air Terjun kecil dikiri kanan yg sangat menawan. Jika anda terus penasaran dgn ujung jalan, anda akan sampai di sebuah tempat dgn gua yg dihuni oleh kalelawar. Disepanjang alur ini, anda dpt berenang sepuas-puasnya. Ya, berenang bersama ikan di air yang jernih dan dingin.
Sejuta Bunga dari Tomohon
Tak banyak yang tahu bahwa Sulawesi selain memiliki kekayaan laut yang indah juga memiliki pemandangan darat yang segar dan dipenuhi aneka bunga berwarna-warni. Hal itu bisa dilihat saat Anda berkunjung ke kota Tomohon yang berjarak 22 kilometer dari kota Manado di provinsi Sulawesi Utara. Kota yang terletak di dekat Gunung Lokon tersebut dikenal karena masyarakatnya yang gemar menanami bunga-bunga di halaman rumahnya.
Kegemaran masyarakat setempat menanami bunga dipengaruhi oleh kontur tanah yang baik, kandungan tanah yang subur serta kelembaban yang ideal untuk menanam. Jadi jangan heran bila Anda kesana dan menemukan hamparan taman yang luas dipenuhi berbagai tanaman bunga di seluruh penjuru kota. Bandung yang berjuluk Kota Kembang saja tak akan mungkin menyaingi pesona Tomohon.
Di Tomohon, mata Anda akan disejukkan dengan berbagai warna bunga yang indah dan mempesona. Bahkan bila Anda memiliki waktu luang, sempatkan untuk pergi kesana karena kota bunga ini akan mengadakan acara tahunan yang bertajuk Tomohon Flower Festival pada tanggal 20 hingga 24 Juli mendatang.
Dalam acara festival bunga yang didukung oleh Walikota setempat serta Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata itu, Anda akan dihibur dengan parade kendaraan hias, turnamen bunga, kontes ratu bunga serta lomba paduan suara internasional. Yang paling menarik dan ditunggu-tunggu dalam festival bunga ini adalah kontes ratu bunga. Tercatat 29 kota yang akan mengirimkan masing-masing delegasinya untuk memperebutkan mahkota ratu bunga Tomohon.
Kontes ratu bunga yang akan berlangsung pada 20-23 Juli ini ditunggu bukan hanya karena kehadiran pesertanya yang cantik dan mengundang decak kagum tapi juga karena janji panitia yang akan menghadirkan Puteri Indonesia 2009 asal Aceh Qori Sandianova dan Puteri Pariwisata 2009 Andara Rainy.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Tomohon, Drs. Herry Gerardus Mogi, menjanjikan festival ini akan semakin semarak melalui kontes ratu bunga tersebut. “Apalagi kontes ini pertama kalinya diadakan dan satu-satunya di tingkat nasional,” ujarnya berpromosi di Tomohon beberapa waktu lalu.
Ratu bunga yang nantinya terpilih dari kontes ini memang diharapkan untuk menjadi duta promosi pariwisata Tomohon sebagai kota bunga. Sehingga segala sesuatunya dipersiapkan sebaik mungkin menjelang pelaksanaan kontes. Tak tanggung-tanggung, para peserta nantinya akan mengenakan kebaya karya perancang kenamaan Amy Atmanto yang juga Ketua Ikatan Perancang Kebaya Indonesia.
Walikota Tomohon, Jefferson S.M Rumajar, berharap kontes ratu bunga yang pertama kali diadakan ini dapat menjadi wadah promosi pariwisata kota bunga sekaligus memperkenalkan kebaya sebagai warisan budaya bangsa kepada pengunjung internasional yang juga datang menikmati festival bunga tersebut.
Selain kontes ratu bunga, ada pula lomba paduan suara bertaraf internasional yang ditargetkan menyedot perhatian pengunjung. Tomohon International Choir Competition (TICC) yang akan diselenggarakan pada 18-21 Agustus mendatang menyajikan beberapa kategori lomba yaitu Children Choir, Youth Choir, Mixed Choir, Male Choir, Female Choir, Senior Mixed Choir, Musica Sacra, Gospel & Spiritual, Pop & Jazz, dan Folklore.
“TICC diikuti oleh peserta dari seluruh kota di Indonesia serta beberapa negara lain diantaranya Filipina, Malaysia, Korea, Swedia, Belgia dan Jerman. Semua peserta nantinya akan dinilai oleh juri tingkat internasional pula,” ujar Jefferson.
Jefferson yakin bahwa acara tahunan Tomohon Flower Festival tidak hanya akan mengharumkan nama kota Tomohon saja melainkan membangun sektor pariwisata Sulawesi dan Indonesia secara umum. Meskipun dampak dari penyelenggaraan acara tahunan ini masih belum terasa, namun pihak pemerintah kota dan Disbudpar Tomohon yakin bila festival ini makin populer, maka masyarakat juga akan merasakan efek positifnya di sektor perekonomian. Jadi tunggu apalagi? Mari ikut meriahkan festival bunga kota Tomohon.
Berikut gambar-gambar yang terkait:
Vredeburg Fort Museum
Visiting Yogyakarta tourism object is not complete without coming to Fort Vredeburg Museum. This fortress has a high historical value to the struggle against the tyranny. Before known as the Fort Vredeburg as now, the fort was named Fort Rustenburg.
In the year 1760, at the request of the Netherlands, Sri Sultan Hamengku Buwono I—the Sultan of Yogyakarta— built a very simple square fort on the land owned by the Kraton (palace). On each corner stands a bastion or seleka which resembling a turtle shape with four legs. By the Sultan the four corners was named Jayawisesa (northwest corner), Jayapurusa (northeast corner), Jayaprakosaning (southwest corner) and Jayaprayitna (southeast corner). Then, under the supervision of architect from the Netherlands named Ir. Frans Haak, in the year 1767 the fort reconstruction was take place. When the building was finished, the fort named Fort Rustenburg which means “Fort of resort”.
In the beginning this initial establishment of the fort was actually a strategy from the Netherlands for the Sultan’s Palace security, though the real intention is to monitor the movement of Sultan’s Palace itself. From inside the fort, the Dutch could easily lead a number of cannons precisely on the Sultan’s Palace if revolt emerges from the Sultan’s Palace, because the fort is close to the Sultan’s Palace.
Devastating earthquake in 1867 in Yogyakarta, causing the collapse of many important buildings in Yogyakarta including Fort Rustenburg. Soon, all the buildings were rebuild and reform. After completion, the name Fort Rustenburg changes to “Fort Vredeburg” which means “Fort of Peace”. The name is taken as a manifestation of the relationship between the Sultanate of Yogyakarta and the Netherlands to cease aggression at that time.
On August 9, 1980 with the approval of Sri Sultan Hamengku Buwono IX Fort Vredeburg serve as Center of Information and National Culture Development. On April 16, 1985 a restoration was carried out in order to the fort became a museum of struggle. The museum opened to the public in 1987. Dated November, 23 1992 Fort Vredeburg was officially served as a museum of struggle with the name “Museum of Fort Vredeburg”. Because it has functioned as a modern museum, Fort Vredeburg has a complete collection includes collection of buildings, collection of realia, collection of photographs including replicas and miniatures and painting collections. In addition, there are four diorama rooms of the history of Indonesian struggle.
Taman Nasional Bunaken
Taman Nasional Bunaken merupakan perwakilan ekosistem perairan tropis Indonesia yang terdiri dari ekosistem hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem daratan/pesisir.
Pada bagian Utara terdiri dari pulau Bunaken, pulau Manado Tua, pulau Montehage, pulau Siladen, pulau Nain, pulau Nain Kecil, dan sebagian wilayah pesisir Tanjung Pisok. Sedangkan pada bagian Selatan meliputi sebagian pesisir Tanjung Kelapa.
Potensi daratan pulau-pulau taman nasional ini kaya dengan jenis palem, sagu, woka, silar dan kelapa. Jenis satwa yang ada di daratan dan pesisir antara lain kera hitam Sulawesi (Macaca nigra nigra), rusa (Cervus timorensis russa), dan kuskus (Ailurops ursinus ursinus).
Jenis tumbuhan di hutan bakau Taman Nasional Bunaken yaitu Rhizophora sp., Sonneratia sp., Lumnitzera sp., dan Bruguiera sp. Hutan ini kaya dengan berbagai jenis kepiting, udang, moluska dan berbagai jenis burung laut seperti camar, bangau, dara laut, dan cangak laut.
Jenis ganggang yang terdapat di taman nasional ini meliputi jenis Caulerpa sp., Halimeda sp., dan Padina sp. Padang lamun yang mendominasi terutama di pulau Montehage, dan pulau Nain yaitu Thalassia hemprichii, Enhallus acoroides, dan Thalassodendron ciliatum.Tercatat 13 genera karang hidup di perairan Taman Nasional Bunaken, didominasi oleh jenis terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Yang paling menarik adalah tebing karang vertikal sampai sejauh 25-50 meter.
Sekitar 91 jenis ikan terdapat di perairan Taman Nasional Bunaken, diantaranya ikan kuda gusumi (Hippocampus kuda), oci putih (Seriola rivoliana), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), goropa (Ephinephelus spilotoceps dan Pseudanthias hypselosoma), ila gasi (Scolopsis bilineatus), dan lain-lain. Jenis moluska seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kepala kambing (Cassis cornuta), nautilus berongga (Nautilus pompillius), dan tunikates/ascidian. |
Cara pencapaian lokasi: Taman Nasional Bunaken dapat dicapai melalui Pelabuhan Manado, Marina Nusantara Diving Centre (NDC) di Kecamatan Molas dan Marina Blue Banter. Dari Pelabuhan Manado dengan menggunakan perahu motor menuju pulau Siladen dapat ditempuh + 20 menit, pulau Bunaken + 30 menit, pulau Montehage + 50 menit dan pulau Nain +60 menit. Dari Blue Banter Marina dengan menggunakan kapal pesiar yang tersedia menuju daerah wisata di pulau Bunaken dapat ditempuh dalam waktu 10-15 menit, sedangkan dari pelabuhan NDC menuju lokasi penyelaman di pulau Bunaken dengan menggunakan speed boat ditempuh dalam waktu + 20 menit.
Selasa, 09 November 2010
Watu Gilang, Watu Gatheng dan Watu Genthong di Kotagede
Situs Watugilang terletak di kawasan Kotagede, Jogja dan Bantul. Situs ini bisa ditemukan dengan menyusuri jalan dari Pasar Gede ke arah selatan kurang lebih 500 meter, melewati Kompleks Makam, dan Masjid Agung Kotagede hingga sampai pada sebuah bangunan yang berdiri di tengah jalan. Meski hanya sebongkah batu, situs ini mempunyai catatan sejarah penting dalam. perkembangan Mataram.
Bangunan ini dikelilingi pohon-pohon beringin dan sebuah hutan Mentaok. Sebelum dijadikan pusat kerajaan, daerah ini memang dikenal dengan sebutan Hutan Mentaok. Dalam bangunan ini terdapat Watu Gilang, Watu Gatheng, dan Watu Genthong.
Watu Gilang dipercaya merupakan batu singgasana Panembahan Senopati. Watu Gilang berbentuk persegi dengan ukuran sekitar 2 x 2 meter berwarna hitam. Di atasnya terdapat pahatan-pahatan tulisan dalam beberapa bahasa yang sudah sulit dapat terbaca lagi karena sudah terkikis.
Ceritanya, batu andesit hitam ini dibawa dari Hutan Lipuro yang kini dikenal dengan daerah Bambanglipuro, Bantul. Di atas singgasana batu inilah Kerajaan Mataram digerakkan oleh Panembahan Senopati. Pada sisi sebelah timur batu ini, terdapat cekungan. Cekungan ini konon muncul akibat dibenturkannya kepala Ki Ageng Mangir, musuh sekaligus menantu Panembahan Senopati, hingga tewas.
Ki Ageng Mangir sendiri merupakan musuh dari Panembahan Senopati. Untuk menaklukkannya, Panembahan Senopati melakukan taktik dengan mengirimkan Puteri Pembayun menjadi penari tayub untuk memikat Ki Ageng Mangir. Setelah Ki Ageng Mangir tertarik dan menikahi Puteri Pembayun mau tidak mau dia harus menghadap ke mertuanya yang tidak lain adalah Panembahan Senopati.
Saat Ki Ageng Mangir sungkem inilah ia kemudian dibunuh oleh Panembahan Senopati dengan membenturkan kepalanya ke singgasana Watu Gilang hingga ia tewas seketika.
Peninggalan lainnya adalah Watu Gatheng. Batu Gatheng adalah batu yang digunakan oleh Raden Ronggo bermain gatheng atau sejenis permainan bekel. Ada 3 buah bola, sebuah berukuran agak kecil berdiameter 15 cm dan dua buah berukuran besar berdiameter 27 cm dan 31 cm. Ada juga cerita Watu Gatheng adalah peluru meriam berukuran besar yang bernama Pancawura yang berada di Pagelaran Kraton Surakarta.
Benda peninggalan terakhir yang ada di situs ini adalah Watu Genthong yang terbuat dari batu andesit berbentuk seperti gentong padasan dengan diameter 57 cm yang digunakan oleh Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring, penasehat Panembahan Senopati, untuk mengambil air wudlu.
Kompleks situs ini berada di kampung Kedathon yang dipercaya merupakan pusat dari kerajaan Mataram Islam. Awalnya situs ini berada pada ruang terbuka, namun untuk melindungi situs ini dibangunlah suatu bangunan yang melindungi situs ini pada tahun 1934 atas perintah Hamengku Buwana VIII.
Senin, 08 November 2010
Museum Wayang Kekayon
Prof Dr dr KPH Soejono Prawirohadikusumo, SpS,SpKj(K) selaku pendiri dan ketua yayasan museum, beliau mendapatkan inspirasi untuk mendirikan Museum Wayang di Yogyakarta pada saat beliau menyaksikan museum-museum di Belanda sekitar tahun 1967. Pada waktu itu beliau sedang menempuh pendidikan S2 di Belanda. Sepulangnya dari Belanda, kerabat Puro Pakualaman ini mulai mengumpulkan wayang sedikit demi sedikit dan membangun Museum Wayang hingga selesai pada tahun 1987 yang ditandai dengan Surya Sengkala "Kekayon Siyaga Angesti Wiyata". Museum itu diresmikan oleh Gubernur DIY pada waktu itu K.G.P.A.A. Paku Alam VIII pada tanggal 5 Januari 1991. Kurang lebih 90% koleksi Museum Wayang merupakan koleksi pribadi, selebihnya merupakan hibah dan titipan dari para pecinta seni pewayangan. Tujuan Pendirian, Museum Wayang Kekayon Yogyakarta adalah preservasi kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan wayang dan hal-hal yang terkait dengan tujuan tersebut. Sebagai tujuan wisata, museum itu memiliki fungsi pendidikan, wahana penelitian , dan rekreasi. Bangunan, Kompleks Museum Wayang Kekayon Yogyakarta terdiri atas : Kompleks Museum terdiri atas 1 (satu) ruang auditorium dengan fasilitas audio visual digunakan untuk penjelasan awal bagi pengunjung serta sepuluh unit bangunan museum. Gedung induk dengan arsitektur khas Jawa lengkap dengan kuncung, pendapa, longkang, peringgitan, ndalem dengan sarean tengahnya. Gedung Pendapa yang luas dapat dipergunakan untuk berbagai macam acara yaitu pernikahan, pertemuan, latihan kesenian, dan paket wisata makan malam sambil menyaksikan pergelaran wayang, Sejarah Indonesia dalam taman, mulai dari kompleks manusia purba dua juta tahun yang lampau hingga kompleks patung Proklamasi 1945,Halaman yang asri dikelilingi tanaman langka serta hutan wisata. Fasilitas wisata lainnya yaitu sasana cinderamata, parkir yang luas dan teduh, dan kafe . Koleksi, Museum Wayang Kekayon memiliki koleksi ribuan jenis wayang dari seluruh kawasan Nusantara dan mancanegara yang terdapat di dalam sepuluh unit bangunan museum yang terdiri atas : Wayang Purwa gaya Yogyakarta, Wayang Purwa gaya Surakarta, Wayang Madya dan Gedhog, Wayang Klithik, Krucil, dan Beber, Wayang Madura, Dupara, Kartasuran, Kidang Kencana, dan lain-lain, Wayang Bali, Suluh, Golek Menak, Golek Tengul, dan lain-lain, Wayang Jawa, Tutur, Diponegaran, Golek Cepak, Sejati, dan lain-lain, Aneka Topeng, Yogya, Bali & aneka kesenian tradisional, Wayang Kontemporer, Wayang Thailand, Amerika, India, dan lain-lain, Wayang satu abad, khusus Kraton, dan lain-lain Koleksi masterpiece adalah wayang kulit seratus kurawa dan koleksi yang unik lainnya adalah hubungan zodiak/ bintang anda dengan tokoh wayang. |
Senin, 01 November 2010
KOTAGEDE, Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam (Abad ke-16)
Pada abad ke-8, wilayah Mataram (sekarang disebut Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.
Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu.
Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede (=kota besar). Senapati lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.
Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.
Peninggalan Sejarah
Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.
- Pasar Kotagede Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.
- Kompleks Makam Pendiri Kerajaan Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.
Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
- Masjid Kotagede Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.
- Rumah Tradisional Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal.
- Kedhaton Berjalan ke selatan sedikit lagi, Anda akan melihat 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa mengartikannya untuk kami?
Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.
- Reruntuhan Benteng Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat di sisi timur, selatan, dan barat.
Berjalan-jalan menyusuri Kotagede akan memperkaya wawasan sejarah terkait Kerajaan Mataram Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Selain itu, Anda juga bisa melihat dari dekat kehidupan masyarakat yang ratusan tahun silam berada di dalam benteng kokoh.
Berbeda dengan kawasan wisata lain, penduduk setempat memiliki keramahan khas Jawa, santun, dan tidak terlalu komersil. Di Kotagede, Anda takkan diganggu pedagang asongan yang suka memaksa (hawkers). Ini memang sedikit mengejutkan, atau lebih tepatnya menyenangkan. Siapa juga yang butuh pedagang asongan yang suka memaksa?
Sumber YOGYES.COM
Sumber YOGYES.COM
Langganan:
Postingan (Atom)